Ditengah gugusan madzhab madzhab
Yah...
siapapun Anda... tentu juga termasuk saya...
Sadar atau tidak... suka ataupun tidak...
Kita semua ini hidup ditengah gugusan madzhab-madzhab...
Ditengah keaneka-ragaman & keaneka-jenisan madzhab-madzhab.
Bila istilah madzhab ini kita kaitkan dengan masalah ketuhanan,
kita akan mendapati adanya komunitas theisme & komunitas atheisme.
Kita akan mendapati adanya madzhab berketuhanan & madzhab anti tuhan.
Pada saat istilah madzhab kita kaitkan dengan kelompok yang bertuhan,
disana ada agama samawi & ada agama non-samawi.
Didalam kelompok agama samawi ada Yahudi, Nasrani & Islam.
Didalam Islam ada Ahlussunnah, juga ada Syi’ah.... dst...
Didalam suatu kelompok, terdapat kelompok yang lebih kecil.
Didalam suatu madzhab, didalamnya terdapat madzhab-madzhab kecil.
Manakala istilah madzhab ini kita hubungkan dengan masalah ilmu kalam,
disana ada Asy’ariyah, Mu’tazilah, & ada pula Imamiyah (Syi’ah Imamiyah).
Manakala istilah madzhab ini kita hubungkan dengan masalah fiqih,
disana ada Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah, &ada pula Ja’fariyah.
Manakala.... dst,dst...
Bahkan ada madzhab yang tak bermadzhab.
Ada juga madzhab yang bebas madzhab.
Bahkan ada madzhab yang mengharamkan madzhab.
Didunia politik... ada Sosialisme, Kapitalisme, ada pula Islamisme.
Didunia politik Islam... ada Sistem Khilafah/syuro, ada Sistem Imamah/wasiat.
Didunia filsafat... ada Materialisme, Idealisme & Realisme.
Pada masing-masing madzhab...
didalam skup dunianya masing-masing...
masing-masingnya mempunyai madzhab kecil sebagai cabangnya...
dimasing-masing cabang itupun terdapat cabang-cabang lagi yang lebih kecil...
masing-masing dari cabang kecil itu... sesuai dunia kecilnya masing-masing...
masing-masing... masing-masing...
... hehehe... masing-masingnya udah ah ! udah banyak kan... hehe...
Begitulah kiranya...
Dunia ini penuh dengan aliran-aliran, penuh dengan madzhab-madzhab,
yang nyaris semuanya menyatakan dirinyalah yang paling benar.
“Ikutilah saya, sayalah yang terbaik, inilah jalan kebahagiaan”.
Nah...
Apakah Anda akan membenarkan semuanya, sementara mereka saling berbeda?!
Atau Anda akan menyalahkan semuanya?! Abstain?!
Atau Anda akan menggabungkan & mensinergikan mereka menjadi kesatuan?!
Atau Anda ingin mendirikan madzhab sendiri, sehingga madzhab akan bertambah satu lagi?!
Atau akankah Anda sekaligus menerima & menolak semuanya?!
Ataukah Anda akan memilih salah satunya...?!
Dan... tetapi... namun...
Bisakah memilih tanpa membanding?!
Logiskah bila telah menentukan pilihannya, sebelum ia membandingkannya?!
Lalu... kemudian...
Masalah-masalah mana sajakah yang mesti kita perbandingkan?
Lazimkah memperbandingkan antar Filsafat Materialisme dengan Fiqih Syafi’i?
Lazimkah memperbandingkan antar Agama dengan Islam?
Lazimkah memperbandingkan antar Ahlussunnah/Syi’ah dengan Islam?
Lazimkah memperbandingkan antar Katolik/Protestan dengan Nasrani?
Lazimkah memperbandingkan antar matahari dengan batu kerikil?
Lazimkah memperbandingkan antar samodra dengan segelas kopi?
Lazimkah memperbandingkan antar Tuhan dengan ciptaannya?
Lazimkah memperbandingkan antar Yang Tak Trbatas dengan sesuatu yang amat kecil?
Lazimkah memperbandingkan antar dua madzhab theologi dengan alat ukur hukum fiqih?
Lazimkah memperbandingkan antar dua orang Ustadz dengan validator hukum rimba?
Bila Anda menjawab semua pertanyaan tersebut dengan jawaban “tidak”...
maka Anda mesti menetapkan batasan permasalahannya dulu,
sebelum mengadakan perbandinagan.
Paling tidak...
Beberapa hal dibawah ini sangat perlu untuk diperhatikan:
1. Dalam membanding, obyek bandingnya haruslah sebanding.
2. Dalam memperbandingkan obyek banding, alat pembandingnya (validatornya) haruslah sesuai dengan obyek yang dibanding.
3. Dalam membanding, haruslah menggunakan hanya satu validator pembanding.
4. Sang pembanding haruslah tidak mememihak kepada salah satu obyek banding. Harus berada diluar kepentingan obyek banding. Ia harus benar-benar netral dari obyek-obyek yang tengah diperbandingkan itu.
Pergolakan antara akal/nurani dan nafsu adalah perang tanding yang menentukan hidup/matinya kebahagiaan tiap orang, bahkan sangat menentukan hidup/matinya kemanusiaan setiap orang. Disitulah seluruh kiprah hidup manusia dipertaruhkan. Disitu pula nilai kemanusiaan seseorang ditentukan. Untuk inilah para nabi diutus dan kitab suci diturunkan. Demi membimbing akal/nurani manusia agar mampu mengelola nafsunya. Demi menyempurnakan kemanusiaan manusia dan menggapai kesejatian dirinya, menggapai kebahagiaan hakiki. |